Sabtu, 03 Mei 2014
Buku Paket
Embun mengukir di dedaunan segar hari ini. Sinar mentari yang beranjak bangun memberi
kesan dalam mengawali semua aktivitas pekan ini. Alunan indah menjadi teman
sebelum pergi ke sekolah. Semester genap telah dimulai beberapa bulan yang
lalu, saatnya meninggalkan kebiasaan lama dan kembali berfokus pada pelajaran. Seperti
biasanya, materi tak henti-hentinya disampaikan dan tugas-tugas tak pernah
dilupakan. Pelajaran pertama hari ini yaitu Pendidikan Agama Islam dengan
materi Haji dan Umrah dan dilanjutkan kembali setelah istirahat. Setelah
istirahat, aktivitas yang sempat terhenti dilanjutkan kembali. Kurang dari lima
menit Ibu Maria selaku guru Kimia memasuki kelas kami. Dengan suara yang
lantang Ibu Maria menjelaskan tentang teori atom Bohr. Teori ini mengemukakan
bahwa atom terdiri dari inti berukuran sangat kecil dan bermuatan positif
dikelilingi oleh elektron bermuatan negatif yang mempunyai orbit. Sekitar dua
puluh menit sebelum pelajaran berakhir, kami dibentuk kelompok untuk membuat
ringkasan mengenai reaksi reduksi dan oksidasi. Aku tergabung di kelompok dua
dengan anggota salah satunya temanku, Anna.
Lampu
sorot bumi begitu terang hari ini. Malam panjang telah berganti menjadi fajar
mentari pagi. Kewajiban yang telah ditanamkan sejak kecil untuk belajar telah
dimulai dua jam lalu. Dikarenkan guru yang mengajar belum memasuki kelas, aku
dan Anna memanfaatkan waktu untuk mendiskusikan dimana kami akan mengerjakan
tugas Kimia. Anisa yang merupakan teman sebangku ku dan Resi teman sebangku
Anna juga memberi saran kepada kami. Hingga Pek Edi selaku guru Geografi telah
datang dan mendata kehadiran siswa, kami pun belum berhenti diskusi.
“Rik,
kita kerja kelompok Kimia dimana? Kelompok lain kebanyakan sepulang sekolah
sudah mengerjakannya.” Tanya Anna
“Kalau
di rumah aku ada acara Na, jadi tidak bisa.” Jawabku
Kemudian
Resi memberi saran “Bagaimana di rumah Sofia? Halaman rumahnya cukup luas”
Sambil
menghadap kearahku Anna bertanya “Jadi kesimpulannya, kita kerja kelompok
dimana Rik?”
Segera
aku menjawab karena Pak Edi hampir selesai mengabsen siswa “Istirahat nani saja
Na memutuskannya, kita tanyakan dengan anggota lainnya juga.”
Ketika
kami berbicara, tiba-tiba Pak Edi menghentikan diskusi kami.
“Kalian
berempat lebih baik keluar!! Siswa lainnya telah siap belajar, tapi kalian dari
saya mengabsen tadi, kalian sibuk sendiri.” Tegur Pak Edi sambil menunjuk
kearah kami.
Kami
yang tak menduga kejadian ini akan terjadi lantas terdiam begitu pun siswa
lainnya. Tak lama kemudian, keheningan pun menjadi tampak dan Pak Edi
meninggalkan kelas kami tanpa memberi subjek apapun. Ketua kelas kami
menyarankan agar kami berempat meminta maaf dengan Pak Edi. Akhirnya, kami yang
merasa menimbulkan sebab akibat memutuskan mengikuti saran ketua kelas kami.
Kami pun segera pergi ke ruang tata usaha. Dengan mengumpulkan semua keberanian
di balik pintu tata usaha, wajah tetap ke depan, tetap lurus, berharap semunya
akan baik-baik saja.
“Pak...
Kami minta maaf atas kesalahan kami tadi. Yang lainnya ingin belajar...”
Sambil
mengetik dokumen di laptopnya Pak Eddi menjawab “Kalian masuk kelas saja. Jam
bapak sebentar lagi akan berakhir.”
Kami pun meminta
maaf kembali dan pergi ke kelas. Sejak saat itu kami berusaha memperbaiki dan
menjaga sikap agar tidak membuat masalah lagi.
Beberapa
hari kemudian saat pelajaran Geografi, Pak Edi mengajar kami dengan membawa
laptop. Pak Edi menunjukkan kami beberapa video mengenai batu-batuan, erupsi
dan tsunami. Saat video tsunami di Aceh tanggal 26 Desember 2004 diputar, kami
melihat tsunami tersebut menyapu beberapa wilayah lepas pantai di Aceh dan
kondisi saat kejadian. Saat menonton video, Resi berkomentar
“Nah Bapak itu
berlarian... Wah kasiannya orang itu.”
Mendengar
komentar Resi, Pak Edi pun mengemukakan komentarnya
“Kalian
itu lihat bagaimana tsunami itu terjadi. Jangan lihat yang tidak
bermanfaat.
Bapak bawa laptop untuk menunjukkan kalian apa yang kita pelajari
agar
kalian lebih memahami. Tapi kalian malah melihat yang tidak penting!”
Suasana kelas
pun jadi hening dan tegang hingga Pak Edi meninggalkan kelas.
Langkah
ini menuaikan serangkai impian di sekolah yang telah ku huni lebih dari enam
bulan, tak terasa satu minggu telah berlalu. Aktivitas belajar mengajar
berlangsung seperti biasanya. Jadwal hari ini ialah Biologi, Kimia, dan
Geografi. Pada jam pelajaran Geografi, Pak Edi menjelaskan tentang jenis-jenis
awan. Karena materi di lembar kerja siswa atau yang akrab dikenal dengan
sebutan LKS kurang lengkap, Pak Edi pun ingin mencari sumber dari buku paket sekolah.
Karena siswa yang duduk dibarisan pertama tidak ada yang membawa buku paket
pinjaman sekolah, Pak Edi pun bertanya kepada siswa lain. Setelah sesi tanya
jawab, ternyata hanya satu siswa yang mempunyai buku cetak yaitu Putri. Karena
masalah buku paket tersebut, Pak Edi menjadi emosi.
“Kenapa hanya
satu orang yang membawa buku cetak? Bagaimana Bapak menjelaskan jika kalian
tiga puluh dua siswa ini hanya melihat satu sumber?”
Putri
adalah anak salah satu guru SMAN kami. Ibunya yang meminjamkan buku paket dengan
petugas perpustakaan. Sedangkan pada saat pendataan buku pinjaman di awal
semester, kelas kami tidak meminjam buku Geografi. Alhasil tidak ada siswa yang
memiliki buku Geografi kecuali Putri. Saat itu Pak Edi benar-benar mengeluarkan
emosinya. Pak Edi menjadi marah besar. Dengan mengaitkan masalah yang lalu,
kami berempat yaitu Resi, Anna dan Anisa menjadi sasaran kemarahan Pak Edi.
Sambil
menunjuk kearah kami Pak Edi mengeluarkan emosinya “Kalian berempat, mulai
minggu depan sampai seterusnya keluar kelas. Terserah kalian mau di luar atau
di ruang BK. Nilai kalian pas KKM saja!!”
Mendengar
hal tersebut terlontarkan, kami berempat menjadi tegang dan takut. Tak ada satu
pun dari kami yang menatap Pak Edi saat itu. Aku tak henti-hentinya mencubit salah satu jari tangan kiriku dan
menekan jari kakiku untuk menahan dan mengurangi rasa takut yang ada. Kami
berempat menahan untuk tidak menangis di depan Pak Edi. Yang membuat rasa takut
ini menjadi-jadi yaitu karena belum ada orang yang memarahi sampai sebesar itu.
Jika itu ada, hal tersebut sudah lama sekali terjadi. Pak Edi memarahi kami
hingga bel berbunyi tanda pelajaran Geografi berakhir. Setelah keluar kelas,
beberapa detik kemudian kami berempat menangis. Melihat kondisi kami yang
sungguh kacau saat itu, dengan tenggang rasa teman-teman mencoba menenangkan
kami.
“Aku malu
dimarahi seperti itu. Argh....” Frustasi Resi
“Aku juga tidak pernah diperlakukan seperti
itu. Hiks!!” Sahut Anna sambil menangis.
“Aku juga malu.
Kesalahannya ialah karena kelas kita tidak meminjam buku cetak. Kenapa harus
kami berempat yang dimarahi besar-besaran.”
“Sudahlah...
Mungkin Pak Edi juga lagi ada masalah. Kalian harus tabah, namanya juga
kehidupan pasti ada rintangan.”Jawab teman-teman yang mengelilingi kami.
Hingga istirahat
tiba, kami akhirnya dapat menahan emosi kami. Dengan keanekaragaman perasaan
saat itu aku mencoba untuk melupakan sejenak masalah yang baru saja terjadi.
Angin berhembus malam ini, aku
menutup mataku diam-diam. Bulan purnama menjadi sahabat kecemasanku saat ini. Kejadian
di sekolah terlintas di memori otakku. Hati yang jengkel, perasaan gelisah, perasaan
yang samar. Mengapa air mata ini membasahi pipi ku? Semua yang telah terjadi
seolah menjadi takdir.
Terkadang
aku butuh waktu untuk sendirian, tapi tidak untuk malam ini. Dengan kesadaran
yang belum pulih sepenuhnya, aku mengetikkan satu persatu kata dan mengirimkan
keluh kesah ku malam ini kepada kakak pertamaku yang saat itu tidak ada di
rumah lantaran pekerjaanya. Tidak berapa lama kemudian, nada dering telepon ku
berteriak seakan-akan penggunanya harus cepat menjawab telepon yang masuk.
Cairan di mataku belum berhenti. Kuseka perlahan kemudian mengangkat telepon
yang masuk dari kakakku.
“Ada apa?” Mendengar
aku yang sesegukan, Kakakku diam sejenak.
“Bisa
tidak aku pindah sekolah?” Sahutku tiba-tiba
“Ada masalah apa? Kenapa kamu tiba-tiba bicara
mau pindah sekolah?” Aku mencoba menceritakan dari awal. Dia pun menasehati aku
“Kamu
mau pindah kemana? Ke Palembang? Kalau ke Palembang, kamu mau tinggal dengan
siapa. Mau tinggal dengan bibimu nanti merepotkannya. Bagaimana pun juga dia punya
anak yang harus diasuh. Kalau kamu mau ngekost Ibu belum punya uang yang cukup.
Untuk pindah sekolah ke kota juga perlu biaya yang tak sedikit.” Apa yang
kudengar kucoba untuk memahaminya. Tapi perasaan kacau lebih mendominasi
pikiranku untuk tetap bersikukuh menurut kehendak ku. Beberapa menit kemudian
Ibuku menghampiri ku.
“Kata
kakak kamu mau pindah? Ibu tidak perlu
menjelaskan panjang lebar. Ibu rasa kamu sudah paham. Jangan ikuti egomu.
Jalani semuanya walau beribu batu kasar menghambat perjalananmu.” Aku tak bisa
membantah apa yang ibu sarankan. Setelah mendengar nasihat ibu, aku pun kembali
ke kamar dan tidur.
Suara khas ayam menandakan malam
akan beranjak pergi, digantikan sinar bumi nan kokoh. Walaupun jiwaku yang
rapuh, kucoba jalani semuanya seperti semula. Bangun pagi, mandi, sarapan, dan
bersiap untuk menempuh ilmu. Ketika aku
sedang bersiap untuk pergi ke sekolah, nada dering telepon ku bernyanyi lagi.
Kulihat nama yang tertera di selulerku, ternyata Kakak keduaku yang saat itu
sedang menjalani pelatihan kerja di Bandung. Aku menghela nafas sejenak dan
segera kuangkat karena waktu sudah menunjukkan pukul 7.00 WIB.
“Kamu kenapa? Kami semua jauh dari kamu, jadi
jaga sikapmu. Kakak dulu juga
pernah
ada masalah di sekolah, tapi kakak tidak seperti kamu ini. Jangan kamu
masukkan
kehatimu, ini baru permulaan."
Aku
hanya menjawab iya dan selebihnya telepon telah dimatikan. Ketika perjalanan ke
sekolah hingga sampai di sekolah aku terus berpikir apa yang orang tua
nasehatkan kepadaku. Saat istirahat berlangsung, aku dipanggil ke ruangan guru
untuk menemui wali kelasku, Ibu Desi. Firasat yang buruk bermunculan saat itu.
Setiba dihadapan Ibu Desi, tanpa basa-basi Ibu Desi menanyakan apa yang terjadi
di kelas seminggu terkahir ini. Kemudian untuk kedua kalinya aku menjelaskan
kejadian tersebut.
“Sebaiknya
kalian berempat meminta maaf lagi dengan Pak Edi. Masalah nilai semester kamu
nanti bagaimana, jadi lebih baik kalian mencoba meminta maaf kembali.”
Aku
hanya bisa menyahut dengan anggukan tanda aku memahami apa yang baru saja Ibu
Desi sampaikan. Keluar dari ruang guru, aku langsung menemui Anna, Resi, dan
Anisa. Karena kondisi yang kurang bersahabat dan emosi juga belum terkendali, kami
memutuskan untuk saat itu belum meminta maaf kembali. Empat hari kemudian ketika
pelajaran Geografi, kami tetap tinggal didalam kelas dan mendengarkan ilmu yang
disampaikan oleh Pak Edi.
Waktu terus berputar, tangis dan
tawa, suka dan duka, bahagia dan sedih telah kami alami. Setengah tahun sudah
kejadian tersebut berlalu. Saat ini aku telah memasuki kelas sebelas jurusan pengetahuan
alam. Walau intensitas pertemuan Pak Edi berkurang, kami masih tetap bertegur
sapa dengannya.
Air
mata yang menetes karena hal-hal terlalu berat telah mengering oleh kenangan.
Ketika luka datang dan pergi, waktu akan datang dan menyembuhkannya dan memberi
kenangan yang baru. Aku akan mengingat segalanya dan menjadikan segalanya
sebagai pembaharuan.
Label:
Cerpen,
Kumpulan PR SMA
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Casino de Monte-Carlo - Mapyro
Casino 인천광역 출장샵 de Monte-Carlo 군포 출장마사지 in Monte-Carlo - View map. 양산 출장안마 Casino de Monte-Carlo in Monte-Carlo, United States. 고양 출장마사지 Casino de Monte-Carlo, Casino de Monte-Carlo, Casino de Monte-Carlo, Casino 정읍 출장샵 de Monte-Carlo,
Posting Komentar